Pertanyaannya, jika demikian, kenapa cabai tidak ditanam secara berkala dan merata di seluruh Indoneia, lalu diawetkan? Ternyata jawabannya tidak mudah. Pasalnya, cabai biasa dikonsumsi dalam keadaan segar dan tidak bisa disimpan dalam waktu lama. Selain itu, iklim sub tropis alam Indonesia dengan curah hujan tinggi mengakibatkan cabai tidak bisa tumbuh dengan baik.
Pada musim penghujan, produksi cabai akan menurun drastis sehingga harga cabai melambung tinggi. Sementara kebutuhan masyarakat terhadap cabai tidak pernah surut, karena ketergantungan menu masakan terhadap bumbu cabai. Menurut data, rata-rata konsumsi cabai per kapita adalah 500 gram/tahun. Bisa dibayangkan dengan jumlah penduduk sebanyak 237.6 juta (sensus tahun 2010), berarti Indonesia membutuhkan cabai sebesar 118.800 ton per tahun.
Karena kondisi tersebut, mendorong seorang praktisi pertanian, Ir. Wahyudi untuk menyumbangkan pengetahuan dan pengalamannya kepada masyarakat Indonesia dengan menyusun buku Panen Cabai Sepanjang Tahun. Tujuannya, agar petani Indonesia bisa bertanam sepanjang tahun agar pasokan cabai bisa terpenuhi setiap waktu.
Bagaimana caranya? Ia memberikan penawaran beberapa konsep pertanian yang kondusif dan ramah lingkungan dengan teknologi EMP dan mulsa plastik hitam perak. Melalui metode ini, petani bisa bertanam cabai secara tepat. Selain menghasilkan panen berlimpah, kesuburan tanah tanah tetap terjaga karena menggunakan sistem pertanian ekologis. Tentu teknologi ini sangat menguntungkan konsumen, karena kualitas cabai lebih sehat.
Di dalam buku terbitan Agromedia Pustaka ini dibahas mulai dari pengenalan berbagai jenis cabai, konsepsi harga cabai, aplikasi teknologi benih, teknologi mulsa plastik hitam perak, teknologi EMP, pemilihan lokasi dan pola tanam, syarat tumbuh setiap jenis cabai, memilih kultivar sesuai permintaan pasar, perawatan dan penanggulangan hama, teknik pemanenan, hingga analisis usaha bertanam cabai.