Kualitas bibit menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam keberhasilan budi daya belut. Hingga saat ini terdapat dua sumber bibit untuk budi daya, yaitu bibit yang berasal dari alam (bibit hasil tangkapan) dan bibit hasil budi daya. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan yang harus diseleksi sehingga menghasilkan bibit sesuai standar budi daya belut.
a. Bibit Hasil Tangkapan Alam
Belum terpenuhinya kebutuhan bibit dari hasil budi daya menyebabkan pemenuhan kebutuhan bibit tergantung pada bibit hasil tangkapan alam. Aspek paling penting saat menggunakan bibit hasil tangkapan alam untuk dibesarkan adalah mengetahui dengan pasti teknik penangkapan bibit yang digunakan. Pasalnya, teknik penangkapan bibit yang dianggap “aman” bagi bibit adalah penangkapan secara alami menggunakan perangkap berupa posong yang diberi umpan.
Sementara itu, bibit yang ditangkap dengan cara disetrum listrik akan mengalami kerusakan syaraf sehingga pertumbuhannya terganggu (“kuntet”). Sayangnya, tanda-tanda fisik belut yang disetrum tidak langsung terlihat saat masih bibit. Tandanya baru terlihat sekitar 10 hari kemudian, berupa titik atau garis putih di kulit yang lama-kelamaan memerah. Bibit hasil tangkapan alam harus dikarantina terlebih dahulu sebelum ditebar ke dalam kolam. Tujuannya, untuk membersihkan tubuhnya dan menghilangkan risiko bibit membawa penyakit.
b. Bibit Hasil Budi Daya
Dibandingkan dengan bibit hasil tangkapan alam, yang paling baik memang menggunakan bibit hasil budi daya. Kelebihannya, kualitas lebih terjamin dan terbebas dari risiko pertumbuhan bibit mengalami gangguan (terhambat atau kuntet). Selain itu, bibit hasil budi daya ukurannya relatif seragam dibandingkan dengan bibit yang ditangkap dari alam. Kelebihan lainnya, bibit hasil budi daya relatif tidak perlu melalui proses karantina karena lebih kecil kemungkinannya membawa bibit penyakit. Hal ini berbeda dengan bibit hasil tangkapan alam yang tercampur dengan belut lainnya saat proses penampungan sehingga bibit perlu dikarantina terlebih dahulu sebelum ditebar atau dibudidayakan.
Dengan demikian, pembudidaya mesti melakukan langkah-langkah penting sebagai berikut.
1. Pilih bibit yang berwarna cokelat atau kekuningan dan berumur sekitar 2 bulan. Berdasarkan pengalaman pembudidaya, bibit berwarna hitam atau gelap pertumbuhannya kurang baik. Dalam 1 kg sebaiknya berisi 80—93 ekor bibit. Jika dalam satu kg berisi lebih dari 100 ekor bibit, dikhawatirkan kepadatan kolam saat pemeliharaan menjadi terlalu tinggi.
2. Sebaiknya membeli bibit di tempat yang bisa dipercaya. Cari referensi penjual bibit yang berkualitas di sekitar wilayah Anda. Pasalnya, cukup sulit membedakan bibit hasil tangkapan menggunakan posong dengan yang disetrum listrik.
3. Secara fisik, pastikan bibit yang ditebar dalam kolam tidak memiliki luka, tubuhnya normal, terlihat segar, dan benar-benar sehat (tidak ada tanda terkena jamur atau penyakit lain) agar pertumbuhannya optimal. Pasalnya, bibit yang sakit berpeluang menjadi sumber penyebar penyakit pada belut lain dalam kolam.
4. Permasalahan pada bibit ternyata tidak hanya pada kualitasnya. Ada kasus pembudidaya justru mudah mendapatkan bibit dalam jumlah banyak, harganya di bawah harga pasar, dan mudah untuk menjual hasil panen. Namun, tiba-tiba pemasok bibit semakin hari semakin sulit dihubungi dan keberadaannya tidak diketahui sehingga pembudidaya kebingungan menjual hasil panennya. Karena itu, hal seperti ini harus diwaspadai dan menjadi perhatian khusus.
* Artikel ini dikutip dari buku “Kiat Sukses Beternak Belut” terbitan AgroMedia Pustaka. Di dalam buku karya Drs. Ruslan Roy, MM & Bagus Harianto ini dibahas secara lengkap tentang budi daya belut sehingga mencapai target memuaskan dan menguntungkan.