Manfaat Metafora terhadap Usia Emas

Titis Anggalih
Asisten Apoteker di Apotek Afina

Pernahkah kita merasa kesulitan dalam menanamkan suatu kebiasaan sedehana kepada si kecil? Atau kita belum menemukan cara yang tepat menangani fobia si kecil terhadap suatu hal? Pernahkah kita meminta si kecil melakukan perbuatan sederhana A tetapi yang ia kerjakan justru perbuatan B?

Sebelum menjawab, mungkin baik bagi kita untuk bercermin barangkali kita lebih sering menghadirkan kata-kata negatif daripada kata-kata positif kepada si kecil. Barangkali kita jarang memuji tetapi tak absen dalam mencela. Atau barangkali hanya cara berkomunikasi kita saja yang kurang pas.

Nah, jika jawaban untuk kesemuanya adalah “ya”, mungkin di sepanjang tulisan ini nanti kita bisa mulai menginsyafi bahwa kita perlu menginovasi cara dan pola berkomunikasi pada si kecil. Dan kita bisa mulai mengimani bahwa “hanya” dengan sedikit inovasi dalam berkomunikasi, sebuah nasehat, kata-kata bijak, penanaman value, bahkan perintah bisa menjadi menyenangkan bagi si kecil. Betapa bisa? Ya, bisa.

Adalah metafora, berasal dari bahasa Yunani, ‘meta’ berarti ‘atas’ dan ‘pherein’ berarti ‘di angkat’. Di mana sebuah penceritaan suatu kondisi di angkat ke atas atau dipindahkan ke sebuah penceritaan kondisi yang lainnya. Kondisi kedua diceritakan seolah-olah terjadi pada kondisi pertama.

Satu contoh praktek, saya mencobakan manfaat penggunaan metafora ini kepada Fani (2 tahun), keponakan saya sendiri. Saat itu, salah satu nilai (value) yang ingin saya tanamkan kepada ponakan saya adalah makan dengan tangan kanan itu baik. Sebelumnya, Fani belum terbiasa makan dengan tangan kanannya. Ia belum tahu mana kebiasaan baik, mana kebiasaan kurang baik. Terkadang tangan kanan, terkadang tangan kiri. Kebetulan, Fani memiliki kegemaran terhadap boneka-boneka. Saya mencari waktu yang tepat dan mengajak Fani  “mengobrol” dengan boneka-boneka tersebut.

Boneka Shaun the Sheep (SS) dan Spongebob (SB)
SS : “Spongebob, assalamu’alaykum”.
SB : “Wa’alaykum salam, Shaun the Sheep”.
SS : Spongebob, minum apa?”
SB : “Minum susu, kayak Fani”.
SS : “Minum susu? Oya, Spongebob anak baik?”
SB : “Iyaaa, aku anak baik”
SS : “Kalau anak baik, minum susu pakai tangan apa?”
SB : “Anak baik minum susu pakai tangan kanan”.
Saya tutup dialog metafora dengan tepuk tangan antara Spongebob dan Shaun the Sheep.

Kita tahu, anak seusia Fani saat keadaan normal dan tidak sedang tidur, senantiasa berada dalam gelombang otak alpha (8-12 Hz). Salah satu sifat gelombang otak alpha adalah terbuka terhadap berbagai informasi yang hadir kepadanya, tanpa proses penyaringan informasi dan penyangkalan. Arus informasi masuk dengan deras tanpa “tedeng aling-aling”. Fani bahkan belum bisa membedakan apakah dirinya nyata ataukah imajinasi. Inilah sebab usia 0-7 tahun disebut usia emas, di mana titik cerdas si kecil dimulai dari sini, saat informasi sebanyak itu mengisi memori si kecil. Ia seperti spon besar yang menyerap titik-titik air yang diteteskan di atasnya.

Berbeda dengan usia dewasa yang mulai menggunakan gelombang beta (12-19 Hz). Otak dalam kodisi beta mulai menyaring informasi. Sebagai contoh, mulai saat ini kita diminta untuk tidak minum teh sebelum pukul 07.00 pagi. Apa yang terjadi? Ya, muncullah berbagai pertanyaan. “Mengapa harus pukul 07.00 pagi?”, “Ada apa dengan pukul 07.00 pagi?”, “Ada apa dengan teh sebelum dan sesudah pukul 07.00 pagi?”. Dan berbanyak pertanyaan penyaring (filter) lainnya.

Anak usia emas mungkin juga akan bertanya, tetapi bukan dalam rangka menyaring, mengkritisi, apalagi menyangkal. Mereka akan bertanya dalam rangka pemuasan rasa ingin tahu mereka. Mengetahui begitu hebatnya potensi saat usia emas ini, kita bisa mencoba untuk memfasilitasi si kecil agar penyerapan informasi mereka maksimal. Yang terjadi saat kita bermetafora, kita mulai memfokuskan perhatian si kecil. Alih-alih kita berpikir bahwa anak kecil itu susah berkonsentrasi, kita bisa mencoba bermetafora untuk menghapus mitos tersebut. Jika metafora bisa kita sebut dengan cerita atau dongeng, bukankah kita yang pernah dewasa ini dulunya saat kecil adalah pecinta dongeng? Ya, sebab saat itu gelombang alpha kita benar-benar terakses dan terfasilitasi dengan nyaman.

Metafora tidak melulu berbentuk dialog seperti yang saya contohkan sebelumnya. Bisa dalam bentuk cerita atau kisah pendek. Bisa dengan menceritakan kisah tokoh-tokoh teladan jaman dulu. Membuat cerita kita sendiri? Bisa juga. Di sini menariknya!

Untuk menanamkan nilai baik yang maksimal kepada si kecil, menjadi penting untuk memperhatikan syarat-syarat metafora. Ada beberapa syarat :
1. Pastikan bahwa kisah kita memiliki nilai (value) positif dan mengandung hikmah baik yang bisa disemai oleh si kecil. Berhati-hati dalam pemilihan kata. Jangan sampai bermaksud menyampaikan nilai (value) yang baik namun pemilihan katanya kurang tepat.
Tentu akrab dengan dongeng Si Kancil Nyolong Timun, kan? Nah, si kecil pertama kali akan bertanya-tanya dan mencari tahu sendiri apa arti kata ‘nyolong’. Ini bisa menjadi nilai (value) negatif  yang tidak kita inginkan. Agar tidak terjadi, kita bisa mulai membiasakan menggunakan kata dan kalimat positif untuk membentuk nilai (value) yang positif pula.
2. Lebih baik jika si kecil diberi keluwesan untuk menyimpulkan sendiri kisah yang kita sampaikan. Selain mengasah intuisi kreatif, juga menyamankan komunikasi dua arah kita dengan si kecil.
3. Memperhatikan ritme, bukan volume. Tentu saja saat memerankan karakter Spongebob dan Shaun the Sheep saya pun mengubah mulai dari intonasi hingga gaya bicara. Untuk apa? Ya, agar semakin menarik dan gelombang alpha si kecil semakin terakses.
4. Akhiri dengan bahagia (happy ending) untuk meninggalkan emosi positif bagi si kecil.

Metafora dikatakan mampu menjadi stimulus kecerdasan usia emas sebab dengan teknik metafora yang tepat dan positif, sebuah nilai kepribadian bisa dibentuk. Si kecil tidak merasa digurui, diperintah, atau dipaksa. Si kecil menjadi begitu menaruh perhatian karena merasa terlibat secara emosi dan mengambil hikmah positif dari metafora kita.

Daya ingat meningkat? Itu juga salah satu manfaat metafora. Mundur sedikit saat kita masih di bangku sekolah, berbanyak rumus dan hafalan kita kuasai namun berbanyak pula yang kita lupakan saat kita mulai dewasa dan tidak lagi di bangku sekolah. Mengapa? Sebab ingatan (memory) yang kita gunakan saat itu hanyalah ingatan menggunakan logika, sedangkan wilayah emosi tidak terlibat. Ingatan yang hanya menggunakan logika cenderung tidak lebih lama bertahan daripada ingatan yang melibatkan emosi juga. Kebalikan dari lupa terhadap rumus dan hafalan di bangku sekolah, bukankah kita sampai sekarang banyak menyimpan kenangan-kenangan tertentu yang mungkin sudah terlewat bertahun-tahun ke belakang?

Metafora membantu meningkatkan daya ingat si kecil terhadap nilai yang kita tanamkan sebab kita bermain dengan wilayah emosi si kecil. Dan bicara emosi positif berarti bicara juga hasil berupa penanaman nilai yang positif.
Belakangan, saya menggunakan metafora sebagai terapi untuk fobia yang dialami anak-anak. Suatu ketika, Idin (2 tahun) berkata kepada kakanya, Aisyah (3 tahun) bahwa ia baru saja melihat kecoa di rumahnya. Aisyah rupanya memiliki fobia terhadap serangga-serangga kecil termasuk kecoa. Berita dari Idin tersebut langsung mempengaruhi Aisyah hingga hampir menangis dan menghampiri saya.

Aisyah    : “Mbak, kata Idin ada kecoa, ya?”. Sesekali mengusap air matanya.
Saya    : “Oh, kapan itu, Mbak Aisy?”
Aisyah    : “Tadi..”
Saya    : “Nah, kalau kecoa mampirnya tadi, berarti sekarang masih ada tidak,      Mbak Aisy ?”
Aisyah    :”Enggak, Mbak..” Aisyah mulai tenang dan berangsur lega.
    
Pada diskusi dengan Aisyah di atas, saya menyampaikan seolah-olah kecoa itu memiliki karakter seperti manusia yang sedang “mampir” atau “jalan-jalan” ke rumah Aisyah. Bisa juga kita variasikan dengan kemenangan seorang pangeran menyelamatkan negrinya dari raja kecoa misalnya. Kita bisa menanamkan nilai bahwa kecoa itu tidak lebih kuat dari kita, atau tidak sejahat apa yang si kecil imajinasikan terhadap kecoa tersebut. Sekreatif kita menciptakan ide-ide agar nilai yang kita sampaikan tetap positif.
    
Jadi, sebelum terburu-buru memasukkan anak ke play group atau bahkan terapis fobia, ada baiknya kita mencoba menggunakan metafora untuk menanamkan nilai yang baik terhadap si kecil. Play group dan terapis barangkali memang dibutuhkan, tetapi peran kita jugalah sebagai orangtua atau yang lebih tua untuk mendampingi si kecil dalam kebaikan tumbuhkembangnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *