Jayanti Ayu Kusumastuti
Pendidikan Dokter, Universitas Gadjah Mada
Anak adalah anugerah terindah. Ya, anak bagaikan sepucuk keindahan surga yang diturunkan ke bumi terutama bagi pasangan yang telah menikah dan mengidam – idamkannya sejak lama. Bahkan tak jarang kehadiran pangeran dan putri kecil ini begitu dinanti sejak sebelum mereka saling memadu kasih.
Tak berbeda dengan pasangan lainnya, pasti ada banyak di antara kita yang belum memiliki calon pendamping, bahkan penulis sendiri, sudah membayangkan seperti apa anak kita kelak. Seperti apa suaranya? Bagaimana hidungnya? Pipinya? Alisnya? Apakah akan mirip dengan kita?Dan tentu saja, rancangan nama bagi pangeran dan putri kecil pun tanpa sadar telah kita pikirkan jauh-jauh hari. Mungkin sejak kuliah, SMA, SMP, atau bahkan sejak SD, kenapa tidak? Kita memilih nama yang baik, yang bagus, bahkan ada juga diantara kita yang begitu inginnya mencari nama yang pas sampai rela berdiri berjam – jam di toko buku untuk membaca buku tentang nama anak dengan “gratis”. Atau iseng – iseng googling “nama anak unik” di sela mengerjakan tugas kuliah. Kumpulan nama religius hingga nama bak orang Jepang, Rusia, India bahkan bahasa yang bahkan belum pernah terasosiasi di area Wernicke otak kita.
Shakespeare berkata “apalah arti sebuah nama”, namun .. ayolah! Tanyakan nurani kita, relakah anak kita dipanggil “ Tuyul, Tuyuuul!!” atau “Benci benci!!” dan menjadi bahan ejekan selama ia berada di bangku sekolah? Nama yang artinya bagus saja dengan “kreatif”nya diubah menjadi ejekan ketika kita sekolah oleh teman. Nama “Ayu” yang baik diubah menjadi “Tuyul..Tuyul! Ayul Tuyuul!”.
Ya, kita memilih nama yang baik dan bagus karena nama adalah doa. Dengan doa yang baik, tentunya kita berharap ia akan menjadi anak yang baik pula dan setiap orang yang memanggilnya akan turut serta mendoakannya.
Sebuah pepatah Arab ini perlu kita renungkan, “Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan padanya.” Ini menunjukkan bahwa nama yang baik, akan memberi pengaruh baik pula. Begitu pula dengan panggilan. Nama panggilan, julukan yang baik akan memberi pengaruh yang baik juga, iya kan?
Coba bayangkan bila si anak diberi nama “Nelangsa”, pasti ia akan terus – terusan mengingat bahwa hidupnya nelangsa, dan bisa jadi ketika besar ia menjadi pribadi yang apatis dan pesimistis. Atau anak yang malas kita panggil “Pemalas”, tentu saja ia akan semakin malas. Seolah-olah mengamini panggilan tersebut.
Hal ini banyak dibahas dalam buku Master Your Mind, Design Your Destiny. Adam Khoo, seorang motivator dan trainer kepribadian asal Singapura, mengutarakan bahwa penamaan pada diri membawa pada keyakinan dan keyakinan itu akan ia gunakan dalam menjalani hidup, baik itu mengarah pada sesuatu yang positif maupun yang negatif. Dalam buku itu pula, sebuah panggilan “Bodoh” atau “Pemalas” pada anak akan memberi keyakinan bahwa dirinya memang bodoh atau malas. Ini sangat krusial karena bahkan tanpa kita sadar, panggilan yang terdengar baik pun sangat mungkin menimbulkan dampak negatif. Memanggil anak perempuan “Cantik” terlalu sering adalah contohnya. Lho? Kok bisa? Bukankah itu nama yang baik dan doa yang baik pula? Semua akan penulis bahas di bagian-bagian selanjutnya.
Bila merujuk secara medis, masa golden age pada anak terjadi semenjak ia dilahirkan hingga ia berusia delapan tahun. Mengapa disebut golden age? Karena pada masa ini, perkembangan dan pertumbuhan otak dan sistem syaraf berlangsung dengan pesatnya. Hasilnya, pada masa ini anak–anak dengan mudah akan menyerap banyak informasi. Tidak peduli baik ataupun buruk, berguna atau tidak, cocok bagi umurnya atau tidak, semua informasi akan ia tangkap, simpan di otak, dan dengan semua informasi itu, jadilah dia dengan segala kepribadiannya.
Pada masa ini pula, banyak pembentukan memori sesuai dua tipe memori yang ada dalam otak manusia yaitu memori eksplisit dan memori implisit. Memori eksplisit berhubungan dengan ingatan kejadian, kata – kata, bahasa, berpusat di hippocampus, sangat mudah diingat namun mudah pula dilupakan. Misalnya saat seseorang menonton film pada siang hari, bisa saja di malam hari banyak ingatannya yang sudah menguap dan hanya menyisakan awal serta ending cerita. Atau mengingat kegiatan apa yang telah dilakukan hari ini, mungkin di malam hari kita sudah lupa apakah tadi pergi dengan sepeda atau motor, pergi kemana, dan sebagainya.
Tunggu, ada pengecualian di sini. Apakah kita pernah menemui anak di masa golden age yang seperti tadi? Apakah dia melihat film pada siang hari dan di malam hari dia sudah lupa? Apakah dia lupa tentang kegiatan sehari – harinya? Tidak. Coba saja tanyakan pada anak berumur 4 tahun tentang kegiatannya hari itu. Bila tidak malu, ia pasti bisa menjelaskan bagaimana Iron Man berhasil melawan penjahat ditambah sound effect dimulainya pertarungan, setiap jenis permainan yang dilakukannya atau betapa ia suka dengan es krim yang tadi ia makan.
Lalu, apa hubungannya memori eksplisit dengan golden age anak? Adakah dampak dari memori eksplisit yang notabene mudah dilupakan terhadap masa golden age? Itulah istimewanya otak anak pada masa golden age. Hampir semua memori eksplisit dengan mudah diubah menjadi memori implisit, suatu memori yang sangat istimewa. Memori implisit (Guyton&Hall, 2006) adalah salah satu bentuk memori pada manusia yang tidak melibatkan kesadaran sehingga justru tidak mudah dilupakan, tidak berpusat di hippocampus seperti memori eksplisit tapi berpusat di ganglia basalis serta otak kecil, menyangkut keterampilan, kebiasaan, dan refleks yang dibiasakan.
Ingat kata bu guru saat TK tentang, “Anak – anak, mari hapalkan angka 1 sampai 10 di luar kepala ya..” lalu beberapa lama kemudian bisa jadi kita sudah hapal, baik itu bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Bagaimana kalau sekarang? Kita belajar angka 1 sampai 10 dalam bahasa Mandarin pasti cepat ingat, tapi kalau dites keesokan harinya, waduh sudah buyar semua.
Cermati juga kata “di luar kepala”. Betapa seringnya kita saat sekolah dibiasakan sampai terampil di luar kepala. Tentu saja, maksudnya di luar kepala adalah memori tersebut dijadikan memori implisit yang tidak mudah dilupakan dan memori implisit, seperti yang dijelaskan di atas, jauh lebih mudah terbentuk pada anak–anak. Ya, golden age.
Oleh karena itulah, para praktisi pendidikan menggembor–gemborkan untuk melatih dan mengajarkan anak sejak masa golden age-nya bermacam–macam alat musik, bahasa, keterampilan gerak tubuh, olahraga, dan pendidikan karakter, bila ingin hasilnya optimal serta dapat menunjang kesuksesan si anak kelak. Bahkan Dr. Maria Montessori, ahli pendidikan anak dari Italia, pernah mengatakan “Working with children older than 3 years is too late to have the most beneficial effect on their life”.
Kalau berbicara tentang kesuksesan, memang kita butuh kemampuan dan juga kepintaran, namun jangan lupakan karakter. Dalam penelitian Goleman (2000,46), karakter mementukan 80% dari kesuskesan seseorang sementara 20% dari intelegensi. Lalu bagaimana cara membentuk karakter anak? Apakah ia harus diikutkan seminar Mario Teguh seminggu dua kali?
Anda pasti bercanda. Tentu saja tidak.
Hal yang kita lupakan, membentuk karakter anak tidak bisa instan. Harus konsisten dari hari ke hari. Dori Low Nolte, pakar pendidikan anak, menegaskan bahwa anak – anak belajar dari lingkungannya sehingga cara terbaik untuk mendidik karakter anak yaitu dengan kehidupan sehari–hari. Selain berbagai stimulus kecerdasan sambil bermain, menyanyi, beribadah, belajar dengan fun, kegiatan outdoor, jangan lupakan hal penting ini yang telah kita bahas sebelumnya, yaitu nama.
Kita harus memberi nama yang baik dan memanggilnya dengan baik pula. Dengan itu, secara tidak sadar kita sedang menanamkan keyakinan serta nilai penting pada anak, menjadikan nilai penting dan keyakinan itu adalah sebuah memori implisitnya.
Dalam buku yang sama, Adam Khoo menuturkan kisah serunya bersama dua anak mengenai apa itu perasaan “penting” dan “keyakinan”. Kedua anak tersebut memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Anak pertama menghubungkan proses belajar dan mendapat nilai yang bagus sebagai sesuatu yang “penting”. Bila ia mendapat nilai yang bagus, orang tua dan guru akan memujinya dan memberinya hadiah. Keinginannya untuk mencapai hal “penting” ini mendorongnya untuk tekun belajar agar selalu menjadi yang terbaik di kelasnya.
Pada anak kedua, ia merasa bahwa “penting” adalah ketika teman – teman geng-nya akan memandang hormat dan takut kepadanya. Demi mencapai hal ini, ia menjadi ketua geng dimana ia akan menggertak semua anak agar mereka semua merasa takut. Mengapa ia berbeda dengan anak pertama? Karena anak kedua ini merasa “bodoh” di bidang akademis dan merasa ditolak oleh guru serta orang tuanya. Ya, anak kedua merasa ditolak oleh guru dan orang tuanya. Karena itulah ia mencari definisi “penting” dalam hidupnya yang tidak berkaitan dengan akademis, guru, atau orang tua. Ia memilih lari dari hal-hal yang membuatnya tertolak. Salahkah dia?
Tentu saja kita tidak ingin membuat anak kita merasa ditolak oleh orang tuanya sendiri. Bila panggilan “Bodoh!” “Pemalas!” “Nakal!” adalah suatu bentuk penolakan, mengapa kita membudayakannya sejak masa golden age anak? Apakah bila ia masih bingung cara membaca dan menghitung, halalkah kita memanggilnya “Bodoh!”? Apakah bila ia tidak tahu cara mengutarakan rasa gemes pada temannya dan malah tanpa sengaja memukul lalu kita berkata “Nakal!”?
Sesuatu yang berlebihan, meskipun niatnya baik, terkadang dan sangat mungkin berefek buruk. Bayangkan saja, dari pertama kali terlahir ke dunia hingga dewasa, kedua orangtua dan orang-orang di sekitarnya selalu memanggilnya “Aduh..Cantiknya..” , “Wah si Cantik kok main di luar?”, “Cantik.. jangan ngambek terus dong, nanti cantiknya hilang lho..”
Pasti, keyakinan dan nilai “penting” yang tertanam dalam benak anak ini adalah “Cantik adalah segalanya”, “Cantik itu penting”, “Karena aku cantik, orang-orang di sekitar menghargaiku. Tidak peduli yang lain, yang penting aku cantik”, “Dia jelek. Aku nggak suka”. “ Dia jelek, dia nggak penting”
Ya begitulah jadinya, anak ini akan “menuhankan” penampilannya agar selalu terlihat cantik. Mengapa? Karena nilai “penting” yang terpatri dalam otaknya adalah orang tua dan orang-orang di sekitarnya sayang kepadanya karena ia cantik. Karena ia cantik, ia menjadi penting. Selain itu, cara pandangnya kepada orang lain pun menjadi “beauty oriented”. “Ah nggak papa aku nakalin dia, aku ‘kan cantik, dia item giginya gigis!”. Sebesar apapun kesalahan yang ia buat, ia merasa itu halal saja dan orang lain pasti memaafkan, mengapa? Karena cantik. Tanpa sadar, doa kita dalam bentuk panggilan sayang menumpulkan kepekaan sosial dan kepribadiannya. Ironis.
Ah, benarkah? Adakah buktinya? Penulis yakin sebagian dari kita masih banyak yang berpikir bahwa hal-hal di atas tidak terlalu substansial dan terlalu dipaksakan. Masak kesuksesan anak bisa ditentukan lewat panggilannya?
Peneliti asal Jepang Masaru Emoto, menyatakan bahwa air mampu merespon stimulus yang kita berikan padanya, baik melalui pikiran, perkataan, visual dan perlakuan, entah itu baik atau buruk. Saat stimulus positif diberikan, air akan membentuk molekul kristal yang indah dan berkualitas baik bahkan bermanfaat untuk penyembuhan. Sebaliknya, ketika stimulus buruk diberikan, molekulnya akan hancur dan kualitasnya menurun drastis. Hubungannya dengan tema kali ini? Karena neuron otak terdiri atas 80% air dan setiap stimulus yang kita berikan akan mempengaruhi kualitas sel otak, pembentukan hubungan antar sel otak, dan segala fungsi di dalamnya.
Jadi, dari uraian di atas, kita bisa memetik beberapa hal. Golden age anak adalah masa yang sangat penting dan masa krusial dimana mereka menyerap semua informasi yang akan meraka bawa ke masa depan. Panggilan “Bodoh”, “Pemalas”, “Nakal” akan membuat mereka meyakini bahwa mereka memang bodoh, pemalas dan nakal. Lambat laun hal itu membuat mereka merasa tertolak. Memanggilnya “ Cantik”, “ Ganteng ” secara berlebihan pun tidak baik, mereka akan melihat bahwa hal itulah nilai penting dalam hidup.
Solusinya, kita harus memberi nama dan memanggilnya dengan baik namun tidak berlebihan. Misalnya memanggil dengan “Anakku yang sholeh” , kita berharap anak akan menanamkan keyakinan bahwa menjadi sholeh adalah nilai penting hidup. Selanjutnya kita dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari hari, seperti saat mereka mau berbagi kue dengan teman, kita memujinya “Ella mau berbagi kue? wah.. begini nih anak sholeha..”.
Atau bila ia belum bisa mengerti angka, kita berkata “Ella ‘kan anak yang pantang menyerah, yuk dicoba lagi! Ayah janji akan ajari Ella sampai paham..” Boleh juga kita memanggilnya “Cantik”, namun jangan berlebihan seperti yang telah dibahas di atas. Namun, alangkah lebih baik bila kita membudayakan sholeh, jujur, ramah, suka menolong, baik hati, tentunya ia akan melihat orang lain seperti kita melihat dirinya. Berteman dengan siapa saja, tidak memilih dari fisiknya saja,
“Aku nggakpapa main sama Fira walaupun dia item giginya gigis. Dia baik dan ramah. Daripada sama kamu, cantik – cantik kok galak?”