Menyelami Bisnis Budi Daya Kroto Bersama Ade Yusdira

kroto

Warnanya putih dan bentuknya seperti butiran nasi. Itulah kroto—telur semut rangrang yang banyak diburu, khususnya oleh para kicaumania dan mancingmania. Bagi penggemar burung, kroto dipercaya dapat membuat burung lebih giat berkicau. Sedangkan bagi pecinta mancing, kroto merupakan umpan bermutu karena memang disukai ikan.

 

kroto

Warnanya putih dan bentuknya seperti butiran nasi. Itulah kroto—telur semut rangrang yang banyak diburu, khususnya oleh para kicaumania dan mancingmania. Bagi penggemar burung, kroto dipercaya dapat membuat burung lebih giat berkicau. Sedangkan bagi pecinta mancing, kroto merupakan umpan bermutu karena memang disukai ikan.

Sayangnya, kebutuhan kroto yang terbilang tinggi di pasar Indonesia tidak sejalan dengan produksinya—baik yang didapat langsung dari alam maupun hasil budi daya. Padahal, bisnis budi daya kroto begitu menjanjikan.

Setidaknya, itulah yang dikatakan Ade Yusdira—penulis buku Budi Daya Kroto Sistem Stoples—kepada Agromedia saat diwawancara via telepon. Menurut pria kelahiran Bogor, 8 September 1975 silam ini, untuk wilayah Bogor saja kebutuhan kroto mencapai 1 ton/hari.

“Saya melakukan survei kecil-kecilan, untuk pakan burung dan pemancingan di wilayah Bogor kira-kira 10 kg/hari. Belum Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, dan wilayah lain,” katanya.

“Selagi masih ada mancingmania dan kicaumania, saya kira bisnis ini masih berprospek. Apalagi jika dilihat dari kebutuhan per hari, berkurangnya pasokan dari alam, serta permintaan yang tinggi, untuk 5—8 tahun ke depan sepertinya masih bisa,” ujarnya menambahkan.

ade-yusdiraPromosi dan terobosan baru
Segala sesuatu jika sudah masuk ranah bisnis tentunya membutuhkan promosi. Hal itu juga yang dilakukan pemilik Krotobond ini. Selain kerap memberikan pelatihan, bisnis kroto yang dijalankan Ade juga banyak dikenal orang karena testimoni dari mulut ke mulut dan buku Budi Daya Kroto Sistem Stoples yang ia terbitkan di Agromedia.

Menurutnya, dari hal-hal di atas banyak permintaan untuk konsultasi atau penyuluhan dari berbagai daerah, seperti Solo, Jambi, Kalimantan, hingga Bali, tentang bagaimana cara membudidayakan semut rangrang tanpa harus mengganggu habitat aslinya.

Tidak hanya itu, di balik kesibukan yang cukup padat, Ade juga menyempatkan diri untuk melakukan terobosan baru terkait dengan budi daya kroto ini. Upaya yang sedang dijalankan adalah melakukan budi daya kroto dengan sistem besek.

“Dengan sistem besek ini diharapkan semut lebih cepat bersarang. Kalau sudah bersarang, mereka tentu bisa langsung melakukan proses bertelur,” kata pria yang lulusan Sarjana Ekonomi, STEI Kesatuan Bogor ini.

Lebih lanjut tentang budi daya kroto sistem besek, Ade mengatakan, dengan sistem besek semut rangrang bisa membuat sarang dalam waktu 2—3 hari. Sedangkan dengan sistem stoples prosesnya bisa satu minggu.

Dengan terobosan baru ini, bukan hanya hasil budi daya semut rangrang yang bisa dimaksimalkan. Tetapi juga, pemberdayaan masyarakatnya. “Masyarakat juga bisa terbantu untuk membuat besek,” katanya.

Tidak hanya itu, untuk membantu para pembudidaya pemula, Ade—melalui krotobond—saat ini sedang membangun koperasi. Menurut Ade, koperasi ini juga penting bagi para pembudidaya. Layaknya koperasi biasa, di koperasi krotobond ini ada iuran pokok dan wajib. Hanya saja semua itu dikonversikan dalam stoples.

“Iuran pokok sebanyak 20 stoples, sedangkan iuran wajib 2 stoples per bulannya,” kata Ade. “Tujuannya agar kita bisa memanen kroto lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pasar dan mengendalikan harga. Yang terjadi sekarang, banyak yang mengambil dari krotobond. Setelah mereka panen, lalu mereka pergi ke pedagang harganya ditawar murah. Sedangkan pedagang jualnya mahal,” ungkapnya menambahkan.

Nantinya, koperasi ini juga akan ada toko-toko koperasi yang tersebar di Jabodetabek. Melalui koperasi ini, pembudidaya bisa membeli kroto, jangkrik, ulat hongkong, alat pancing, dan sebagainya.

budi-daya-kroto-sistem-stoplesPersiapan melakukan budi daya kroto
Untuk menjadi pembudidaya kroto memang tidaklah mudah. Menurut Ade, ada dua faktor yang harus dipahami seorang pembudidaya kroto, yaitu faktor teknis dan non-teknis.

“Faktor teknis, para pembudidaya pemula ini harus membekali diri dengan ilmu melalui pelatihan. Mereka harus memahami SOP di dalam budi daya kroto, seperti lingkungan yang tepat, pakan, sekuritas, keadaan kumbung, kelembapan, suhu udara, dan sebagainya,” kata pria yang juga berprofesi sebagai staf pengajar di kampusnya.

“Sedangkan faktor non-teknis, lebih pada kesabaran yang tinggi dan ketelatenan si pembudidaya ini. Karena budi daya semut rangrang ini tidak mudah. Budi daya kroto ini terkait dengan mahluk hidup. Sebagai pembudidaya, kita menyesuaikan dengan mereka,” tambahnya.

Masih menurut Ade, sayangnya kebanyakan dari para pembudidaya tidak sabar. Ia pun mencontohkan ada yang belum waktunya panen, tiba-tiba sudah dipanen duluan. Hal-hal seperti itulah yang menurut Ade membuat budi daya kroto tidak maksimal.

Lantas, apa saja yang harus diperhatikan jika ingin menjadi pembudidaya kroto?

“Intinya, memenuhi syarat-syarat SOP (standard operating procedure). Kita kan mengkondisikan semutnya. Jadi kita harus memahami karakteristik semut, pemberian pakan, dan lain-lainnya. Yang terpenting kuasai ilmunya sampai tuntas, termasuk faktor teknis dan non-teknis tadi,” kata Ade.

Bagaimana, tidak sulit kan untuk memulai budi daya kroto ini? Cukup dengan memahami syarat-syaratnya dan ditunjang dengan kesabaran serta ketelatenan kita dalam melakukan budi daya, tentu hasil yang didapat bisa sesuai dengan harapan. Tertarik untuk mencoba?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *