dr. Farhan Ali Rahman
S-2 Spesialis Anestesiologi, Universitas Gadjah Mada
Harus kita sadari bahwa kesungguhan ikhtiar peningkatan indeks pembangunan kualitas SDM Indonesia ini tak mungkin terlepas dari komponen pendidikan dan kesehatan. Kedua elemen ini memiliki kaitan erat yang bersifat potensiasi sinergistik, atau saling berhubungan dan menguatkan. Akan sulit membentuk manusia cerdas jika tidak sehat begitu juga sebaliknya manusia sehat perlu dibangun pula sisi kecerdasannya. Pembangunan kualitas SDM ini tidak mungkin terlepas dari masa keemasan (golden age) perkembangan manusia. Usia lahir sampai dengan seorang anak memasuki pendidikan dasar atau sekitar 0-6 tahun adalah masa kritis dalam tahapan kehidupan manusia. Masa golden age di usia 0-6 tahun ini merupakan periode kondusif untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Dalam ranah pendidikan, kebahagiaan muncul tatkala kita akhirnya tersadar dan menggiatkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai sebuah stimulus kecerdasan yang komprehensif, holistik dan integratif. Lahirnya payung hukum, UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, meneguhkan terintegrasinya PAUD dalam sistem pendidikan kita. Beragam pengembangan ditambah perhatian pemerintah pusat maupun daerah serta pelbagai elemen masyarakat melalui gerakan masyarakat secara nasional (National Public Movement) menjadikan pendidikan masa golden age bagi anak usia 0-6 tahun ini lebih bergairah, baik bentuk formal (Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal atau sederajat), non formal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak atau sederajat), maupun informal (pendidikan keluarga dan lingkungan). Angka partisipasi kasar PAUD hingga medio tahun 2011 tercatat 53,6 persen atau mencapai 15,3 juta anak yang terlayani PAUD. Pada tahun 2012 dari estimasi jumlah anak usia 0-6 tahun sebanyak 30,3 juta ditargetkan sebanyak 19,9 juta (65,7 persen) mengikuti PAUD (Direktorat Pembinaan Anak Usia Dini, 2011). Namun, telah cukupkah itu semua?
Satu hal yang harus dipikirkan adalah bahwa dunia anak yang penuh keceriaan juga merupakan dunia yang rentan dengan permasalahan kesehatan. Aneka penyakit anak kerap menghantui, sebut saja contohnya: Infeksi Saluran Nafas, Diare, Anemia Defisiensi Besi, Tyfus, Campak, Asma, bahkan Demam Berdarah. Belum lagi pelbagai kegawatdaruratan anak semisal luka bakar, cedera kepala, atau patah tulang. Kondisi sang buah hati yang tengah sakit tentu saja berakibat pada tingkat kemampuan belajarnya, sebut saja jika anak menderita kurang gizi atau anemia defisiensi besi, anak menjadi lemah dan daya serap otak serta tingkat konsentrasinya menurun. Seorang anak yang menderita gizi buruk beresiko kehilangan potensi kecerdasan intektual (IQ) sebanyak 12-13 poin dan pada tingkat yang lebih parah dapat menjadi generasi dengan otak kosong (empty brain).
Dengan mensinergikan aspek pendidikan dan kesehatan dalam PAUD maka akan memaksimalkan tahapan tumbuh kembang seorang anak. Pertumbuhan (growth) adalah unsur yang dapat diukur dengan takaran berat (gram) atau takaran panjang (sentimeter) yang berkaitan erat dengan perubahan dalam hal besar, ukuran, baik dalam dimensi sel, organ, sistem organ hingga organisme (individu). Sementara perkembangan (development) berhubungan erat dengan meningkatnya kemampuan (skill) yang menjadi wujud dari pematangan struktur dan fungsi tubuh secara lebih kompleks serta ditandai dengan perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku sosial.
Stimulus anak pada masa keemasan melalui PAUD, baik bentuk formal (Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal atau sederajat), non formal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak atau sederajat), maupun informal (pendidikan keluarga dan lingkungan) akan sangat membantu proses peningkatan kualitas SDM anak sebagai generasi penerus bangsa. Dari sisi pendekatan religius, Bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam tentunya harus belajar bahwa pendidikan anak sejak dini sangat ditekankan dalam tuntunan agama ini. Teladan dari Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa mencari ilmu harus dilakukan sejak dalam buaian hingga ke liang lahat, hal ini sudah barang tentu sejalan dengan semangat PAUD.
Sebagai contoh bisa kita lihat dari seorang ulama terkenal di kalangan Umat Islam, yaitu Imam Syafi’i. Beliau terlahir pada tahun 774 Masehi di Gaza Paletina, sejak kecil sudah yatim. Semenjak usia 2 tahun ibundanya telah menitipkan beliau kepada seorang guru di Mekkah untuk mengikuti pendidikan agama Islam dan mendalami al-qur’an. Pada usia 7 tahun beliau selain fasih membaca al-qur’an bahkan sudah bisa menghafal al-qur’an. Sebagai negara yang heterogen dan menghargai perbedaan, tentu saja pendekatan untuk memotivasi peningkatan kualitas SDM bisa sangat beragam. Tapi simpul yang bisa ditarik tetaplah sama, bahwa ada pendekatan pendidikan di usia dini yang sangat erat berhubungan dengan peningkatan kualitas SDM dan kesuksesan seseorang.
Stimulus yang diberikan dalam PAUD baik dalam bentuk aneka kegiatan bermain sambil belajar, menggambar, cerita, bermain peran, bermain lego, bernyanyi, hingga melatih pola hidup dan kemandirian seperti waktu tidur, toilet training¸ jadwal dan cara makan merupakan suatu rangsangan yang baik bagi seorang anak. Selain itu pola interaksi dengan teman sebaya dengan ragam bentuk komunikasi menjadikan kecerdasan sosial anak menjadi semakin baik. Namun perlu diingat bahwa peran orang tua dalam bentuk PAUD informal tetaplah memegang posisi sentral. Karena dari sisi interaksi waktu yang terbangun hubungan anak dengan keluarga mengambil porsi yang paling besar. Oleh karena itu, orang tua harus benar-benar peduli dan mengambil bagian dalam menstimulus kecerdasan anak melalui PAUD. Kepedulian tersebut bisa dengan mengikutsertakan putra-putrinya di lembaga PAUD formal dan non formal serta tentu saja aktif secara mandiri melakukan pendidikan anak usia dini secara informal di rumah.
Dalam buku Tumbuh Kembang Anak, dr.Soetjiningsih, Sp.A (K), menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga peran orang tua jika dikaitkan dengan target PAUD informal di keluarga yang berbasis pada kebutuhan dasar anak. Tiga peran tersebut terangkai pada slogan, ‘Asuh-Asih-Asah’. Asuh merupakan pemenuhan kebutuhan dasar anak dari sisi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan rekreasi. Asih adalah upaya melengkapi kebutuhan dasar anak dari elemen kasih sayang, perhatian, rasa aman yang akan menciptakan ikatan yang erat (bonding) dan kepercayaan dasar (basic trust). Asah merupakan suatu stimulasi mental dalam proses belajar pada anak untuk mengembangkan hal-hal seperti kecerdasan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, dan sebagainya.
Melalui pendidikan PAUD baik secara formal, non-formal maupun informal ini tentu saja dapat secara positif mengembangkan seluruh aspek kecerdasan jamak (Multiple Intelligences) seorang anak. Howard Gardner menuliskan dalam bukunya Frame of Mind: The theory of Multiple Intelligences, bahwa ada delapan aspek kecerdasan yang bisa dikembangkan manusia, yaitu berupa; (1) kecerdasan spasial (kemampuan mengenal ruang dan berpikir tiga dimensi), (2) kecerdasan lingusitik (kemampuan berbahasa), (3) kecerdasan logik-matematik, (4) kecerdasan bodily-kinesthetic (keterampilan gerak tubuh, menari, olah raga), (5) kecerdasan musikal, (6) kecerdasan interpersonal (kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain), (7) kecerdasan intrapersonal (kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri), dan (8) kecerdasan naturalistik (kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan, alam, seni, dan agama).
Lantas bagaimana aplikasi PAUD berkurikulum kesehatan? PAUD berkurikulum kesehatan adalah PAUD yang mensinergikan kurikulum pendidikannya dengan sasaran-sasaran program kesehatan. Jika selama ini program kesehatan bagi anak di usia golden age dimasukkan dalam program posyandu dibawah koordinasi dengan puskesmas setempat, maka dapat dikembangkan penerapan program kesehatan yang terintegrasi di PAUD bahkan mungkin bisa diarahkan menjadi sebuah sistem asuransi kesehatan.
Kurikulum kesehatan yang bisa diterapkan di PAUD misalnya berupa pemantauan tumbuh-kembang anak melalui pengukuran pertumbuhan anak (tinggi badan, berat badan, dan status gizi). Selain itu melalui pemantauan perkembangan anak melalui tes-tes perkembangan anak seperti tes Denver yang mudah dan aplikatif. Pelaksanaanya bisa oleh para guru yang sebelumnya telah mendapat pelatihan terkait uji tumbuh-kembang anak, maupun tenaga kesehatan yang sengaja dijadwalkan rutin dalam kurikulum untuk melakukan pemeriksaan.
Selain itu kurikulum kesehatan pun dapat berupa penanaman kebiasaan-kebiasaan pola hidup berperilaku sehat (PHBS) sejak dini. PHBS ini meliputi kebiasaan cuci tangan, gunting kuku, buang sampah pada tempatnya, mandi dan keramas teratur, pelatihan sikat gigi sejak dini, mengenalkan pola makan seimbang, senam, olah raga, mengenalkan bahaya merokok, polusi, dan narkotika dengan cara yang sederhana. Kurikulum ini dapat pula dilengkapi dengan promosi, edukasi, dan prevensi kepada orang tua yang terintegrasi dengan program pendidikan PAUD. Contohnya dengan penambahan edukasi berkenaan dengan gizi, tumbuh-kembang anak, penyakit dan kegawatdaruratan pada anak usia dini, dari mulai pencegahan, deteksi dini, penanganan dan pengobatan awal di rumah, proses pencarian pengobatan medis hingga rehabilitasi. Kurikulum ini dapat dikemas dalam parenting program PAUD sebagai tambahan pengetahuan bagi orang tua yang pasti akan berimplikasi positif pada pendidikan dan kesehatan anak.
Memasukkan program edukasi kesehatan ini secara resmi dalam kurikulum tentu saja memiliki beragam konsekuensi pada pelaksanaannya di ranah pendidikan. Para penyelenggara PAUD, khususnya PAUD formal dan non-formal harus menyusun tujuan atau satuan acara pembelajaran (SAP), blue print kurikulum, format asessment pencapaiannya, hingga bentuk komunikasi untuk meminta dukungan dan timbal balik dari orang tua melalui buku laporan harian anak.
Pada bentuk yang lebih matang, PAUD berkurikulum kesehatan dapat diarahkan menjadi PAUD berasuransi kesehatan. Pembiayaan kesehatan saat ini yang didominasi cara fee for service atau out of pocket, dimana pasien secara personal membayar setelah mendapat pelayanan, membuat biaya relatif tinggi, terlebih pelayanan kesehatan pada anak. Karena itu, penting adanya peranan masyarakat yang terorganisir dalam mengatasi pembiayaan kesehatan. Pengembangan PAUD berasuransi kesehatan dapat menjadi solusi permasalahan ini. Asuransi, pada dasarnya adalah mekanisme mengalihkan resiko (ekonomi) perorangan menjadi resiko kelompok. Namun mengingat populasinya adalah anak usia dengan keunikan karakteristik, baik berhubungan dengan tumbuh kembang, maupun spesifikasi masalah kesehatannya, tentunya perpaduan ini akan menghasilkan entitas tersendiri. Karenanya model asuransi yang disusun boleh jadi akan merupakan irisan dari beberapa varian asuransi.
Beberapa pilar minimal yang harus diperhatikan dalam PAUD berasuransi ini adalah: populasi peserta; pembentukan Badan Pelaksana (Bapel) asuransi; kontrak dengan Penyedia Pelayanan Primer (PPK) sebagai provider (dokter, puskesmas, atau rumah sakit yang terpilih); pembayaran premi per orang per bulan; sistem pembayaran pada provider; upaya promosi, edukasi, dan prevensi kepada peserta/orang tua; dan adanya kendali utilisasi dan mutu.
Tulisan ini tentu tidak memadai untuk menjelaskan teknis penerapan keseluruhan sistem PAUD yang dikembangkan sinergistik dengan kurikulum kesehatan. Namun, semoga memberikan inspirasi kepada pihak terkait untuk bersama mengembangkan PAUD berkurikulum kesehatan. Muara akhirnya adalah peningkatan kualitas PAUD sehingga semakin mengukuhkan posisi PAUD dalam melejitkan kecerdasan dan memberikan sumbangsih bagi kesehatan anak di usia emas. Proses tersebut semoga mendukung peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) demi terciptanya generasi emas Indonesia.
dr.Farhan Ali Rahman
Dokter Residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGM-RSUP Dr.Sardjito.
Ayah dari tiga orang putra.