STIWI , Kesehatan Mental dan Kecerdasan Majemuk bagi Golden Age

R.Wusananta Rahardja
Guru SDIT Baitussalam Prambanan

Golden age merupakan masa yang paling penting, bersejarah, sekaligus ‘kritis’ bagi seseorang paska kelahirannya di dunia. Jika masa itu terabaikan, maka akan berimbas kerugian di hari-hari setelahnya, bahkan masa depannya. Karenanya, tak ada pilihan lain selain menyongsong datangnya masa itu dengan penuh kesyukuran, sikap  yang terbaik dan perbekalan yang memadai.  

Jika kita jeli dan mau mencermati  lingkungan  di sekitar kita, tentu akan menjumpai hal-hal yang unik, menarik, mencengangkan, terkadang diluar kewajaran, namun memang benar-benar ada!  Seorang anak  (usia balita) atau satu dua tahun diatasnya telah mampu berbuat layaknya siswa Sekolah Dasar, remaja atau bahkan orang dewasa. Lewat atraksi drumbandnya yang memukau, lewat kemampuan vokal dan aktingnya saat menyanyi di panggung,  lewat lancarnya hafalan ayat-ayat dan do’a-do’anya yang panjang atau ceramah-ceramahnya yang menyentuh hati, kemampuan membaca dan berhitung di luar kepala, seni lukisannya yang membuat orang geleng-geleng kepala , dll. Penulis sendiri menjumpai dan mengenalnya, siswa TK yang koleksi trophynya  nyaris seratus buah dan berkali-kali juara tingkat lokal hingga nasional,  juara drum band nasional, siswa PAUD yang fasih  hafalan surat-surat dan do’a harian, dsb. Gerangan apa yang terlintas di kepala orang-orang yang menyaksikannya?  Sekedar  decakan  kagum kah? Atau penasaran ingin tahu bagaimana cara belajar dan berlatihnya? Atau…ingin menguak lebih jauh faktor-faktor apa yang menyebabkan itu semua bisa terjadi?
    
Menurut penulis, siapapun ia, terutama para orang tua hendaklah menyikapai fenomena di atas secara positif, arif dan obyektif. Bukan sebaliknya, dengan sikap negatif seperti : iri, dengki, cemburu atau  membabi buta ingin secepat kilat  ‘memformat’ anaknya agar bisa seperti mereka bahkan berambisi melebihinya. Alih-alih meyenangkan anak, yang terjadi justru ‘penindasan’  mental dan ‘pembunuhan’ kretivitas serta ‘menghancurkan’ masa depannya!
    
Melihat realitas anak-anak gemilang seperti tergambar di atas, terbukti sudah, bahwa potensi kecerdasan anak yang majemuk (multiple intellegence), yang sesuai kecenderungannya, ternyata mampu melejit di usia yang sangat belia. Mengapa ini bisa terjadi? Paling tidak ada lima faktor yang berpengaruh mengapa anak usia balita bisa memiliki prestasi gemilang. Yaitu: faktor genetika (keturunan), asupan makanan, curahan kasih sayang orang tua, stimulasi dan faktor lingkungan sekitar. Idealnya, kelima hal tersebut dapat bersinergi, seoptimal mungkin mendukung tumbuh kembang  kesehatan fisik, mental dan kecerdasaan anak, terutama di masa keemasannya (golden age). Namun pada kesempatan ini penulis hanya akan mengulas salah satu faktor yang cukup dominan dalam menumbuhkan kecerdasan di masa golden age, yaitu stimulasi.    
    
 Menurut Kamus Besar Bahasa IndonesiaI, stimulasi berarti perangsang organisme bagian tubuh atau reseptor lain untuk menjadi aktif. Reseptor adalah ujung saraf yang peka terhadap rangsangan panca indera penerima. Stimulasi pada anak usia golden age (0-5 tahun) sangatlah penting. Mengapa? Karena sebuah penelitian tentang otak menunjukkan bahwa sampai usia 4 tahun tingkat kapabilitas kecerdasan anak telah mencapai 50%. Pada usia 8 tahun mencapai 80% dan sisanya sekitar 20%  diperoleh pada saat berusia 8 tahun ke atas.  Pendapat ini diperkuat oleh Feldman (2002) yang mengatakan : “Masa balita merupakan masa emas yang tidak akan berulang karena merupakan masa paling penting dalam pembentukan dasar-dasar kepribadian, kemampuan berfikir, kecerdasan, keterampilan, dan kemampuan bersosialisasi.” Jadi, jika anak-anak kita ingin tumbuh menjadi anak yang berkualitas maka  jangan sampai terlewatkan masa keemasan mereka dengan mengupayakan sesuatu yang berpengaruh langsung bagi kesehatan maupun kecerdasan buah hati kita.
‘STIWI’ dan fakta sejarah ‘orang-orang gemilang’ .
    Istilah ‘STIWI’ sengaja penulis buat karena terlihat sederhana, elegan, simpel dan mudah diingat.  STIWI adalah kependekan dari  STImulus samaWI.  Apa maksud ‘STIWI’ ?    STIWI adalah sebuah pendekatan  atau  rangsangan organisme bagian tubuh/ reseptor  pada golden age yang bersumber dari samawi (langit) atau dari wahyu Tuhan yang berisi pesan-pesan mulia (kebaikan) untuk penjagaan anak dan diyakini  dapat berdampak  positif  pada saat itu dan masa yang akan datang. Adapun materi pesan tersebut antara lain berupa :  bacaan ayat-ayat suci, bacaan dzikir dan do’a, bacaan sholawat nabi, pembacaan kisah tokoh-tokoh teladan/ pahlawan, nasehat-nasehat yang bersumber dari wahyu ilahi, dll.  Selain materi pesan secara verbal yang tertuju langsung bagi anak, STIWI juga bisa berupa amalan-amalan yang dilakukan oleh orang tuanya dan  secara langsung maupun tidak  berdampak positif bagi sang anak. Contoh:  puasa sunnah, sholat dluha, shalat tahajjud, dsb.  (Bagi pemeluk agama lain tentu mempunyai pegangan/ landasan dan amalan yang berbeda, maka dalam hal ini dikembalikan pada keyakinan masing-masing).  Berbagai rangsangan  lewat STIWI semestinya diupayakan secara teratur  oleh orang tua dalam menemani hari-hari anak semenjak  dalam kandungan maupun di usia 0-5 tahun. Kapan dan dalam keadaan apapun, STIWI tetap diperlukan oleh anak.  Semakin tinggi  frekuensi STIWI semakin besar dampak positif  bagi anak.  Dari STIWI  penulis ingin meyakinkan bahwa orang-orang hebat, kuat dan berprestasi gemilang pada masa dulu ( dan sekarang) pasti ketika golden age mereka telah mendapat STIWI  dari orang tuanya!
Dalam lintasan sejarah tokoh-tokoh Islam, kita kenal nama Ibnu Sina. Belia dikenal sebagai penemu teori-teori kedokteran yang karya-karyanya abadi dan diterapkan hingga hari ini, Sejak dalam kandungan beliau telah dididik dengan STIWI. Sehingga tak heran  hafal  Al Qur’an dalam usia yang sangat belia, demikian juga Imam Syafe’i salah satu tokoh imam madzab yang telah hafal Al Qur’an di usia 7 tahun, Al Bukhari sang perawi hadits termasyur  yang hafal ribuan hadits shahih,  Ibnu Khaldun bapak sosiolog dan politik Islam , Ibnu Taimiyah sang mujahid besar, dan masih banyak lagi. Demikian juga dengan para tokoh/ pahlawan di Indonesia, seperti: Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, HOS Cokroaminoto, R.A. Kartini, H.Agus Salim, KH.Ahmad Dahlan, Hamka, dsb. Mereka semua terlahir dan hidup di waktu kecil dalam suasana yang  penuh STIWI. Yang pada akhirnya mengantarkan mereka ke puncak prestasi gemilang, membela kebenaran, keadilan, mempertahankan harkat  dan martabat negeri tercinta ini.

Apa sebenarnya alasan yang mendasari dipilihnya STIWI sebagai hal yang patut dilestarikan dan diunggulkan saat ini ?  Pertama, Semua yang berasal dari manusia seberapapun kecil prosentasenya pasti ada kekurangan, kesalahan dan kelemahan. Sedang sesuatu yang berasal dari Sang Maha Pencipta jagad raya berserta isinya pastilah dijamin kesempurnaan, keutamaan dan keunggulannya.  Kedua,  Kesehatan mental, spiritual, penanaman nilai dan karakter  pada anak akan semakin efektif  bila ditanamkan sedini mungkin tanpa menunggu datangnya masa sekolah.  Ketiga, Upaya pembentengan diri dari pengaruh eksternal yang ‘demikian ganas’ perlu diantisipasi dan disikapi dengan langkah-langkah preventif. Keempat, Belajar dari berbagai hasil pendapat/ penelitian para ahli tentang manfaat  amalan-amalan samawi yang efektif bagi kesehatan mental, fisik maupun kecerdasan, yang tidak sedikit sumbangsihnya dalam membantu problem dunia kesehatan.  Kelima, Belajar dari sejarah para tokoh-tokoh besar/ pahlawan yang ternyata mereka tumbuh dari lingkungan yang kental dengan STIWI.

Kesehatan mental sebagai faktor mendasar

Tak bisa dipungkiri, bahwa selain faktor kesehatan fisik, kesehatan mental mutlak sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup seseorang. Apalah artinya sehat fisik jika mentalnya terganggu. Bahkan, bisa dikatakan kesehatan mental sebagai landasan bagi kesehatan fisik. Artinya, dengan mental yang sehat secara langsung atau tidak akan membantu menyehatkan kondisi fisik orang tersebut dan sebaliknya mental yang sakit akan mengundang datangnya suatu penyakit (psikosomatis) atau memperparah penyakit yang sedang dideritanya.   Oleh karena itu, kesehatan mental harus selalu diupayakan untuk orang tua dan siapa saja, termasuk pada janin yang masih di kandungan hingga lahir dan memasuki masa-masa penting, golden age.  Kesehatan mental tersebut dapat berupa: penguatan/ pelurusan niat dan tujuan hidup, motivasi berprestasi (baik dari dalam maupun dari luar diri), ibadah dengan beragam bentuknya, menjalin hubungan baik dengan sesama serta menghindarkan  diri dari  ‘penyakit  hati’ seperti: iri, benci, dengki, hasad, takabbur/ sombong, malas, su’udzon, pesimis, dsb. Seorang ibu yang tengah mengandung seyogyanya selalu membentengi diri dari berbagai ‘penyakit hati’ yang dapat mengganggu kesehatan mentalnya, hingga  berimabas pula pada rapuhnya mental sang bayi yang tengah dikandungnya. Demikian pula ketika bayi sudah lahir,  stabilitas mental harus tetap dijaga agar bayi merasakan keamanan dan kenyamanan. Pernyataan diatas sejalan dengan pendapat Dr.Marian C. Diamond (sang peneliti otak Albert Enstein) yang  menyimpulkan salah satu hasil penelitiannya; “ Pengayaan secara mental akan meningkatkan kapasitas fisik kecerdasan kita dan anak-anak kita. Peningkatan kapasitas mental memungkinkan mereka memiliki kecerdasan cair (ukuran efisiensi kerja otak) yang lebih tinggi.”  Jadi, inti dari  kesehatan mental adalah:  pentingnya  upaya penjagaan kondisi mental agar tetap sehat dan stabil serta bebas dari segala ‘penyakit’ , sehingga dengan keadaan tersebut akan dirasakan  manfaatnya bagi orang tua, sang buah hati maupun lingkungan sekitar.  
Pentingnya mengenal kecerdasan majemuk (multiple intelligence)

Potensi kecerdasan setiap anak tentu berbeda-beda. Mereka hadir ke dunia dengan membawa keunikan masing-masing . Kecerdasan seseorang  juga  tidak dapat dipaksakan namun bisa dirangsang dan ditumbuhkan. Sebagai orang tua atau pendidik hanya bisa merndampingi dan memotivasi  tumbuh kembangnya potensi yang dimiliki anak. Jika potensi kecerdasan anak dapat terbaca lebih dini maka akan memudahkan dan sangat membantu dalam  menemukan ‘dunia’nya untuk bisa dilejitkan. Pada saatnya nanti akan dapat menorehkan prestasi dan membuat sejarah baru dalam hidupnya.  Namun jika potensi kecerdasan anak belum juga muncul/ terbaca di usia dini, orang tua tetap  harus terus  mengupayakan  dengan berbagai cara, stimulus atau tindakan  tertentu sehingga tidak menjadikan  berlarut-larut hingga menginjak usia remaja atau dewasa.

Sebagai orang tua atau guru minimal harus kenal ragam potensi kecerdasan yang ada dan membekali diri tentang pengetahuan tersebut. Harapannya, tak akan dijumpai lagi  pandangan yang sempit tentang kecerdasan, yang hanya dimaknai sebatas kecerdasan akademis semata. Menurut Dr.Howard Gardner kecerdasan majemuk itu meliputi : kecerdasan spasial visual (cerdas ruang), kecerdasan linguistik (cerdas bahasa), kecerdasan  inter personal (cerdas sosial), kecerdasan  musikal (cerdas musik), kecerdasan natural (cerdas alam), kecerdasan kinestetik (cerdas gerak), kecerdasan intra personal (cerdas diri), kecerdasan logika-matematik (cerdas logika).

Betapa banyak kita jumpai kisah orang-orang besar yang awalnya mereka ‘orang-orang terbuang’ dari lingkungannya. Mereka memiliki kekurangan  dan keterbatasan namun disisi lain mereka ternyata punya potensi kecerdasan tertentu yang luar biasa.  Berkat keteguhan, kebesaran jiwanya, semangatnya yang  membaja, juga dukungan dari orang-orang terdekatnya akhirnya ia dapat ‘menemukan dunia’-nya. Nama mereka terukir dalam tinta emas sejarah dunia. Sebut saja: Albert Enstein, Thomas Alva Edison, Beethoven, Agatha Christie, Helen Keller, Stephen Hawking, dll. Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah bahwa semua orang sebenarnya telah dibekali potensi kecerdasan masing-masing, tinggal bagaimana ia berupaya menemukan, menumbuhkan, mengasah serta melejitkannya. Sehingga potensi kecerdsan itu dapat berkembang optimal dan membuahkan sesuatu yang bermanfaat bagi alam semesta.
Sebuah penegasan bagi masa depan generasi penerus bangsa

Bagaimana sebenarnya hubungan STIWI, kesehatan mental dan kecerdasan majemuk? Bagi penulis, hal ini dirasa sangat urgen dan sangat strategis . Ketiga hal tersebut termasuk ‘kata kunci’ dalam meraih sukses bagi masa depan seorang anak sekaligus masa depan bangsa.. Dari ketiganya tidak bisa dipilih mana yang paling penting dan mana yang tidak terlalu penting. Sama seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain.  Hubungan ketiga hal tersebut lebih tepatnya diibaratkan sebagai mata rantai yang saling mengikat dan saling bergantung. Jika ditulis: STIWI-Sehat Mental-Cerdas Majemuk-STIWI-Sehat Mental-Cerdas Majemuk-STIWI-Sehat Mental-Cerdas Majemuk-dst. Penjelasannya adalah: Jika orangtua melakukan STIWI (bagi anak) maka kesehatan mental (orang tua dan anak) akan didapatkan dan jika mental (anak) menjadi sehat maka akan mudah memunculkan reaksi positif atas apa yang tersimpan (berupa potensi kecerdasan) dalam dirinya.  Jika salah satu/ beberapa  kecerdasan yang menonjol telah muncul, tetap harus disupport dengan STIWI agar tumbuh lebih subur lagi, dst….hingga meraih puncak prestasipun kehadiran STIWI dan kesehatan mental selalu dibutuhkan bagi anak.

Kerja keras orang tua dalam mengawal buah hati mempersiapkan dan meniti masa Golden Age adalah pekerjaan mulia, perjuangan yang mutlak harus dilakukan. Bukanlah merupakan beban, tapi  tanggungjawab, amanah dan bukti kecintaan  pada sang buah hati untuk kebaikan dirinya sekaligus membentuk generas penerus bangsa yang tangguh dan berkualitasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *