Tak adil rasanya menyebut ubi kayu sebagai komoditas “kelas bawah”. Namun, itulah kenyataan yang berkembang selama ini. Harga ubi kayu setiap tahunnya saat panen raya tergolong sangat rendah. Padahal ubi kayu dapat menghidupi berbagai industri hulu dan hilir, baik sebagai tanaman pangan maupun tanaman perdagangan.
Permasalahan lingkungan saat ini, seperti ancaman pencemaran udara dan global warming, sehubungan dengan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) menuntut manusia untuk lebih arif dalam menggunakan energi, selain juga karena suplai BBM yang kian menipis. Salah satu upaya tersebut adalah mensubstitusi bensin atau premium dengan bioetanol.
Salah satu tanaman penghasil bioetanol dengan tingkat produktivitas tinggi adalah ubi kayu. Lantas, mengapa ubi kayu dipilih sebagai komoditas utama penghasil Bahan Bakar Nabati (BBN) atau lebih tepatnya penghasil Full Grade Ethanol (FGE)?
Pertama, ubi kayu merupakan tanaman yang sudah dikenal petani kita secara turun-temurun. Ubi kayu adalah tanaman sumber karbohidrat ketiga setelah padi dan jagung. Dengan menggeser kegunaan ubi kayu menjadi BBN (dari sumber daya karbohidrat ke sumber daya hidrokarbon), diharapkan harga ubi kayu akan meningkat sehingga pendapatan petani akan meningkat pula.
Kedua, ubi kayu telah tersebar di Indonesia dan ditanam di sentra-sentra produksi di 55 kabupaten dan 36 provinsi, tetapi produktivitasnya relatif rendah. Dengan program pengembangan BBN, diharapkan tidak hanya tersedia lapangan pekerjaan tetapi akan terjadi peningkatan teknologi pertanian dan agro industri di pedesaan.
Ketiga, harga ubi kayu setiap tahun saat panen raya selalu sangat rendah. Melalui pembangunan pabrik-pabrik etanol skala pedesaan, diharapkan harga ubi kayu akan stabil.
Keempat, ubi kayu akan menguatkan security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan.
Kelima, memperbesar basis sumber daya bahan bakar nabati, karena ubi kayu adalah tanaman yang toleran terhadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah, mampu berproduksi baik pada lingkungan sub-optimal, dan mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih baik pada lingkungan sub-optimal dibandingkan dengan tanaman lain.
Penjelasan lebih lengkap mengenai bioetanol ubi kayu ini bisa Anda baca dalam buku Bioetanol Ubi Kayu; Bahan Bakar Masa Depan yang ditulis oleh Rama Prihandana, Kartika Noerwijari, Praptiningsih Gamawati, Adinurani, Dwi Setyaningsih, Sigit Setiadi, & Roy Handoko.
Buku yang diterbitkan oleh AgroMedia Pustaka ini menyajikan pembahasan menyeluruh tentang bioetanol sebagai BBN yang didukung oleh pertanian berbasis ubi kayu. Karenanya, buku ini layak menjadi sumber informasi mutakhir bagi para birokrat penentu kebijakan, peneliti, akademisi, pengusaha, ataupun masyarakat umum yang ingin mengembangkan bioetanol dan atau bercocok tanam ubi kayu.