Fenomena Kesurupan si Emas Hijau

Siapa sangka, bahwa “si emas hijau”, anthurium daun bisa menjadi tanaman yang fenomenal dan spektakuler? Bahkan tak jarang, angka-angka rupiah yang membandrolnya mampu membuat kita tercengang. Namun, apakah fenomena ini akan berlangsung cukup lama?

Sungguh edan anthurium. Sepanjang karir saya sebagai pencinta tanaman hias, baru sekali ini ada tanaman hias daun berharga aduhai. Gejala aneh itu sebetulnya sudah mulai terendus sejak Mei 2007, ketika tanpa diduga, pamor anthurium tiba-tiba mencorong lagi. Padahal pamor itu sudah meredup sejak akhir tahun 2006, saat kita sibuk menghadapi Hari Raya Idul Fitri, kesibukan anak sekolah, dan tutup tahun. Yang menarik, demam ‘puber’ kedua anthurium ini tampaknya jauh lebih dahsyat. Sejak Mei hingga awal Juli saja, perburuan anthurium hampir terjadi setiap hari secara intensif. Ditaksir, ratusan anthurium jenmanii telah eksodus dari Jabotabek ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam kurun waktu yang sama pula, harga anthurium indukan meroket pesat tak terkendali. Naik dari hanya Rp 5 juta pada awal Mei menjadi Rp 25 juta per pohon pada pertengahan Juli.

Sampai catatan ini ditulis, di wilayah Jabotabek, Medan, dan sebagian kota di Jawa Barat—yang selama ini dikenal sebagai sentra-sentra anthurium—sudah mulai sulit ditemukan lagi anthurium-anthurium jenis indukan, akibat demand dan supply yang tak seimbang. Kalau pun ada, harga sudah di luar common sense.

Dalam saat yang sama, jalur perdagangan tradisional tanaman ini juga ikut-ikutan bergeser. Anggapan lama bahwa anthurium kelas indukan biasanya diangkut dari Jawa Barat ke Timur, ternyata tidak berlaku lagi. Karena nyatanya banyak juga anthurium berukuran besar juga mulai diangkut dari Timur ke Barat. Demikian juga jalur bisnis tradisional anthurium anakan atau bibit ikut bergeser. Para pemburu anthurium di daerah-daerah di Jawa—terutama Solo, Karangpandan, dan sekitarnya—yang dikenal luas sebagai pemasok anthurium jenis bibitan, nyatanya belakangan juga mulai mengambil dari sejawatnya yang tinggal di wilayah Barat.

Sentra-sentra anthurium pun ikut berubah. Dulu Solo dan sekitarnya suka disebut “ibukota” anthurium, tapi saat ini sudah banyak kota-kota lain yang ingin memiliki ‘otonomi khusus’, sebutlah sejumlah kota kecil di Jawa Tengah bagian barat dan utara, atau sejumlah kota di Jawa Timur. Sang primadona juga bukan lagi jenmanii yang sudah tidak terjangkau harga dan barangnya. Kini ada incaran baru, yakni Gelombang Cinta, Garuda, dan hookerii yang secara taksonomi juga menyimpan banyak bentuk dan tampilan daun yang aneh.

Pantas orang-orang Thailand bengong. Mereka rupanya tidak siap melihat akselerasi anthurium yang sedang terjadi di Indonesia. Secara terus terang mereka mengaku dalam soal tanaman yang satu ini mereka merasa harus belajar banyak pada kita. Seorang penangkar di pinggiran Thailand yang selama ini getol memasok aglaonema menyebut negara kita sebagai negara seribu anthurium. Nyatanya hasil ‘pabrikan’ mereka, berupa hookerii merah (hokmer) dan hookerii hijau (green hookerii) juga laris manis.

Waktu pertama kali masuk tahun 2006, harga hookerii bikinan Thailand Cuma laku Rp 60 ribu per pohon dan hookerii hijau setinggi 30 cm cuma laku Rp 20 ribu per pohon. Itu pun diolok-olok. Tapi kini para juragan di Bangkok bisa petentengan. Mereka pasang harga seenaknya, dan kita mau juga membelinya dengan harga Rp 350 ribu per pohon.

Yang pasti, kini sudah muncul konsumen anthurium baru, yakni mereka yang membeli harga dan kelompok yang membeli nama. Kelompok pertama adalah para followers yang suka ikut-ikutan tren anthurium dengan membeli bibitan. Namun, ketika harga kecambah jenmanii 2-3 daun naik dari Rp 100 ribu menjadi Rp 150 ribu, mereka langsung melupakannya. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang sibuk membeli anthurium dengan nama baru, meski kadang-kadang belakangan baru mereka menyadari bahwa tanaman itu tidak ada bedanya dengan koleksi sebelumnya.

Kalau saya boleh jadi tukang ramal, anthurium-anthurium indukan, besar kemungkinan akan tetap memiliki nilai tinggi akibat suplai yang minim. Anthurium anakan atau remaja bisa jadi akan menjadi komoditas generasi anthurium berikutnya.

Masalahnya apakah fenomena ‘kesurupan’ itu masih akan berlangsung lama? Tenang saja. Kalau pun suatu hari nanti pamor tanaman daun ini merosot, sepanjang  kita mau belajar dari sejarah, harga biasanya tidak langsung terjun bebas ke bumi. Yang sudah jelas, kini kita memperoleh pelajaran, bahwa tanaman yang suka menyita lahan sempit kita itu, kalau kita rawat baik-baik, akan mendatangkan berkah juga.

Tulisan mengenai fenomena ‘kesurupan’ anthurium daun ini dikutip dari buku Menjadi Milyarder dari Anthurium Daun yang ditulis oleh Kurniawan Junaedhie. Buku yang diterbitkan oleh AgroMedia Pustaka ini menguak secara mendalam tentang seluk-beluk dan strategi bisnis si emas hijau, dari gambaran pasar, pemilihan jenis-jenis yang laris, kiat memasarkannya, hingga analisis usahanya.

(Foto-foto Dok. AgroMedia Pustaka: anthurium jenmanii centhong, anthurium hookerii batang merah, anthurium hookerii cobra merah, dan anthurium jenmanii)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *